SEJARAH PURWOREJO
Senin, 08 April 2013
0
komentar
![]()  | 
| Dolalak Purworejo | 
Pada
 bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin 
Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober
 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah 
Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu 
andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara
 Hiwang.
Prasasti
 yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk
 wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 
disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan 
tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam
 Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa 
pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang 
dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama
 seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan 
Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa 
yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan 
dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan
 (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh 
seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang 
berkedudukan di Parivutan.
Pematokan
 tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima)
 dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk 
memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa 
tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di 
wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua
 Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk 
ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah
 yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu 
yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang 
rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah 
tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha”
 dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang 
dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang 
terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika 
yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula 
sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua 
Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara
 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 
pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah :
 Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan 
(Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji 
Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada
 para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik 
ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut
 akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten 
Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten 
Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang 
ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan 
Indonesia Sentris.
Perlu
 dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih 
dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh
 wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya 
dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan 
Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari 
timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta
 dan Kabupatn Magelang.
Dalam
 pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan
 andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar 
Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat
 berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat 
disegani.
Paska
 Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen 
dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota 
baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam
 perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam 
bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram 
dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan 
Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 
tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke 
Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini 
tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu 
diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam
 Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang 
pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari 
masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen 
dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan 
ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi 
beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan 
Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun
 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah 
di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu
 dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten 
Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah 
yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi 
Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut 
Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam
 perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di 
bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga 
kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh
 yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan 
“Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy 
Wibowo dan sebagainya.
Para
 tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, 
seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal 
sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di 
dalam maupun di luar negeri.
Hamparan wilayah yang subur di Jawa 
Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu
 kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan
 Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut 
disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa,
 dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “
 sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di 
tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, 
Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya 
hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang 
maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada
 bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin 
Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober
 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah 
Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu 
andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara
 Hiwang.
Prasasti
 yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk
 wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 
disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan 
tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam
 Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa 
pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang 
dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama
 seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan 
Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa 
yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan 
dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan
 (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh 
seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang 
berkedudukan di Parivutan.
Pematokan
 tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima)
 dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk 
memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa 
tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di 
wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua
 Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk 
ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah
 yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu 
yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang 
rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah 
tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha”
 dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang 
dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang 
terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika 
yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula 
sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua 
Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara
 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 
pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah :
 Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan 
(Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji 
Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada
 para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik 
ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut
 akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten 
Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten 
Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang 
ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan 
Indonesia Sentris.
Perlu
 dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih 
dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh
 wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya 
dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan 
Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari 
timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta
 dan Kabupatn Magelang.
Dalam
 pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan
 andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar 
Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat
 berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat 
disegani.
Paska
 Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen 
dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota 
baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam
 perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam 
bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram 
dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan 
Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 
tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke 
Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini 
tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu 
diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam
 Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang 
pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari 
masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen 
dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan 
ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi 
beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan 
Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun
 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah 
di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu
 dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten 
Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah 
yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi 
Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut 
Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam
 perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di 
bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga 
kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh
 yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan 
“Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy 
Wibowo dan sebagainya.
Para
 tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, 
seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal 
sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di 
dalam maupun di luar negeri.
(Sumber : purworejokab.go.id) 


0 komentar:
Posting Komentar