SEJARAH KABUPATEN WONOSOBO
Jumat, 05 April 2013
0
komentar
Berdasarkan cerita rakyat, pada sekitar awal abad 17 tersebutlah tiga
orang pengelana masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai
Walik, mulai merintis suatu permukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya
Kyai Kolodete berada di dataran tinggi Dieng, Kyai Karim berada di
daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar kota Wonosobo sekarang
ini. Di kemudian hari dikenal beberapa tokoh penguasa daerah Wonosobo
seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang
pusat kekuasaannya di Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung
Wiroduta Wonosobo yang Pecekelan - dipindahkan sebagai pusat
kekuasaannya Kalilusi, ke Ledok penguasa yang - di selanjutnya Wonosobo
atau Plobangan sekarang ini.
Salah seorang cucu Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu Kyai Karim tersebut dikenal sebagai Ki Singowedono yang telah mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat menjadi penguasa daerah ini namanya berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini Pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen. Selanjutnya pada masa perang Diponegoro ( 1825 - 1930 ), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro.
Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Misbach atau kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kertosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah. Dalam pertempuan melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu Pangeran Diponegoro memberi nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan Tumenggung SETJONEGORO.
Selanjutnya Tumenggung SETJONEGORO diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar TUMENGGUNG SETJONEGORO. Eksistensi kekuasaan SETJONEGORO di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa SETJONEGORO adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini.
Dari hasil seminar Hari Jadi Wonosobo tanggal 28 April 1994, yang dihadiri oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, Sesepuh dan Pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi serta Instansi Pemerintah Wonosobo yang telah menyepakati bahwa Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825.
(Sumber : www.wonosobokab.go.id)
Salah seorang cucu Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu Kyai Karim tersebut dikenal sebagai Ki Singowedono yang telah mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat menjadi penguasa daerah ini namanya berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini Pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen. Selanjutnya pada masa perang Diponegoro ( 1825 - 1930 ), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro.
Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Misbach atau kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kertosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah. Dalam pertempuan melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu Pangeran Diponegoro memberi nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan Tumenggung SETJONEGORO.
Selanjutnya Tumenggung SETJONEGORO diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar TUMENGGUNG SETJONEGORO. Eksistensi kekuasaan SETJONEGORO di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa SETJONEGORO adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini.
Dari hasil seminar Hari Jadi Wonosobo tanggal 28 April 1994, yang dihadiri oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, Sesepuh dan Pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi serta Instansi Pemerintah Wonosobo yang telah menyepakati bahwa Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825.
0 komentar:
Posting Komentar