SEJARAH KEBUMEN

Posted by Hendi Prakoso Senin, 08 April 2013 0 komentar
Seperti halnya Daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai latar belakang kultur budaya dan sejarah yang berbeda-beda, Kabupetan Kabumen memiliki sejarah tersendiri yaitu berdiri Kabupaten Kebumen dimana maksud yang dikandung untuk memberikan rasa bangga dan memiliki bagi warga masyarakat Kabupaten Kebumen yang selanjutnya dapat menumbuh kembangkan potensi-potensi yang ada sehingga dapat memajukan pembangunan di segala bidang .

Sejarah awal mulanya adanya Kebumen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Mataram Islam. Hal ini disebabkan adanya beberapa keterkaitan peristiwa yang ada dan dialami Mataram membawa pengaruh bagi terbentuknya Kebumen yang masih didalam lingkup kerajaan Mataram. Di dalam Struktur kekuasaan Mataram lokasi kebumen termasuk di daerah Manca Negara Kulon ( wilayah Kademangan Karanglo ) dan masih dibawah Mataram.

Berdasarkan Perda Kab. Kebumen nomor 1 tahun 1990 tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten kebumen dan beberapa sumber lainnya dapat diketahui latar belakang berdirinya Kabupaten kebumen antara lain ada beberapa versi yaitu :

Versi I

Versi Pertama asal mula lahirnya Kebumen dilacak dari berdirinya Panjer . Menurut sejarahnya menurut sejarahnya, Panjer berasal dari tokoh yang bernama Ki Bagus Bodronolo.Pada waktu Sultan Agung menyerbu ke Batavia ia membantu menjadi prajurit menjadi pengawal pangan dan kemudian diangkat menjadi senopati. Ketika Panjer dijadikan menjadi kabupaten dengan bupatinya Ki Suwarno( dari Mataram ), Ki Bodronolo diangkat menjadi Ki Gede di Panjer Lembah ( Panjer Roma ) dengan gelar Ki Gede Panjer Roma I, Pengangakatan tersebut berkat jasanya menangkal serangan Belanda yang akan mendarat di Pantai Petanahan sedangkan anaknya Ki Kertosuto sebagai patihnya Bupati Suwarno.Demang Panjer Gunung, Adiknya Ki Hastrosuto membantu ayahnya di Panjer Roma, kemudian menyerahkan jabatannya kepada Ki Hastrosuto dan bergelar Ki Panjer Roma II. Tokoh ini sangat berjasa karena memberi tanah kepada Pangeran Bumidirja. yang terletak di utara Kelokan sungai Lukulo dan kemudian dijadikan padepokan yang amat terkenal. Kedatangan Kyai P Bumidirja menyebabkan kekhawatiran dan prasangka, maka dari itu beliau menyingkir ke desa Lundong sedang Ki panjer Roma II bersama Tumenggung Wongsonegoro Panjer gunung menghindar dari kejaran pihak Mataram. Sedangkan Ki Kertowongso dipaksa untuk taat kepada Mataram dan diserahi Penguasa dua Panjer, sebagai Ki Gede Panjer III yang kemudian bergelar Tumenggung Kolopaking I ( karena berjasa memberi kelapa aking pada Sunan Amangkurat I ). dari Veri I dapat disimpulkan bahwa lahirnya Kebumen mulai dari Panjer yaitu tanggal 26 Juni 1677.

Versi II

Sejarah Kabupaten Kebumen dimulai sejak Tumenggung Arung Binang I yang masa mudanya bernama JAKA SANGKRIP yang berdarah Mataram dan dititipkan kepada pamannya Demang Kutawinangun. Setelah dewasa lalu mencari ayahnya ke keraton Mataram dan setelah membuktikan keturunan Raja maka ia diangkat menjadi Mantri Gladag, kemudian sampai Bupati Nayaka dengan Gelar Hanggawangsa. setelah diambil menantu oleh Patih Surakarta kemudian diangkat menjadi Tumenggung Arung Binang I sampai dengan keturunannya yang Ke III sedangkan Arung Binang IV sampai ke VIII secara resmi menjadi Bupati Kebumen.

Versi III

Asal mula nama Kebumen adalah adanya tokoh KYAI. PANGERAN BUMIDIRJA. Beliau adalah bangsawan ulama dari Mataram, adik Sultan Agung Hanyokro Kusumo. Ia dikenal sebagai penasihat raja, yang berani menyampaikan apa yang benar itu benar dan apa yang salah itu salah. Kyai P Bumidirjo sering memperingatkan raja bila sudah melanggar batas-batas keadilan dan kebenaran. Ia berpegang pada prinsip : agar raja adil dan bijaksana. Disamping itu juga ia sangat kasih dan sayang kepada rakyat kecil. Kyai P Bumidirjo memberanikan diri memperingatkan keponakannya, yaitu Sunan Amangkurat I. Karena sunan ini sudah melanggar paugeran keadilan dan bertindak keras dan kejam. Bahkan berkompromi dengan VOC (Belanda) dan memusuhi bangsawan ,ulama dan rakyatnya. Peringatan tersebut membuat kemarahan Sunan Amangkurat I dan direncanakan akan dibunuh, Karena menghalangi hukum qishos terhadap Kyai P Pekik dan keluarganya ( mertuanya sendiri ).

Untuk menghadapi hal itu, Kyai P Bumidirjo lebih baik pergi meloloskan diri dari kungkungan sunan Amangkurat I. Dalam perjalanan ia tidak memakai nama bangsawan , namun memakai nama Kyai Bumi saja.

Kyai P Bumidirjo sampai ke Panjer dan mendapat hadiah tanah di sebelah utara kelok sungai Lukulo , pada tahun 1670. Pada tahun itu juga dibangun padepokan/pondok yang kemudian dikenal dengan nama daerah Ki bumi atau Ki-Bumi-An, menjadi KEBUMEN.

Oleh karena itu bila lahirnya Kebumen diambil dari segi nama, maka versi Kyai Bumidirjo yang dapat dipakai dan mengingat latar belakang peristiwanya tanggal 26 Juni 1677.

Berdasarkan bukti-bukti sejarah bahwa Kebumen berasal dari kata Bumi, nama sebutan bagi P Kyai Bumidirjo , mendapat awalan Ke dan akhiran an yang menyatakan tempat.

Hal itu berarti Kabumen mula mula adalah tempat tinggal P Bumidirjo.

Di dalam perjalanan sejarah Indonesia pada saat dipegang Pemerintah Hindia Belanda telah terjadi pasang surut dalam pengadaan dan pelaksanaan belanja negara , keadaan demikian memuncak sampai klimaksnya sekitar tahun 1930. Salah satu perwujudan pengetatan anggaran belanja negara itu adalah penyederhanaan tata pemerintahan dengan penggabungan daerah-daerah Kabupaten (regentschaap) . Demikian pula halnya dengan Kabupaten Karanganyar dan Kebupaten Kebumen telah mengalami penggabungan menjadi satu daerah Kabupaten menjadi Kabupaten Kebumen. Surat keputusan tentang penggabungan kedua daerah ini tercatat dalam lembaran negara Hindia Belanda tahun 1935 nomor 629. Dengan ditetapkannya Surat Keputusan tersebut maka Surat Keputusan terdahulu tanggal 21 juli 1929 nomor 253 artikel nomor 121 yang berisi penetapan daerah kabupaten Kebumen dinyatakan dicabut atau tidak berlaku lagi. Ketetapan baru tersebut telah mendapat persetujuan Majelis Hindia Belanda dan Perwakilan Rakyat (Volksraad).

Sebagai akibat ditetapkannya Surat Keputusan tersebut maka luas wilayah Kabupaten Kebumen yang baru yaitu : Kutowingun , Ambal , Karanganyar dan Kebumen. Dengan demikian Surat Keputusan Gubernur Jendral De Jonge Nomor 3 tertanggal 31 Desember 1935 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1936 dan sampai saat ini tidak berubah .Sampai sekarang Kabupaten Kebumen telah memiliki Tumenggung/Adipati/Bupati sudah sampai 29 kali.
(SUMBER : kebumenkab.go.id)
Read More..

SEJARAH PURWOREJO

Posted by Hendi Prakoso 0 komentar
Dolalak Purworejo
Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.
Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.

(Sumber : purworejokab.go.id)
Read More..

SEJARAH KABUPATEN WONOSOBO

Posted by Hendi Prakoso Jumat, 05 April 2013 0 komentar
Berdasarkan cerita rakyat, pada sekitar awal abad 17 tersebutlah tiga orang pengelana masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik, mulai merintis suatu permukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di dataran tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar kota Wonosobo sekarang ini. Di kemudian hari dikenal beberapa tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduta Wonosobo yang Pecekelan - dipindahkan sebagai pusat kekuasaannya Kalilusi, ke Ledok penguasa yang - di selanjutnya Wonosobo atau Plobangan sekarang ini.

Salah seorang cucu Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu Kyai Karim tersebut dikenal sebagai Ki Singowedono yang telah mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat menjadi penguasa daerah ini namanya berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini Pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen. Selanjutnya pada masa perang Diponegoro ( 1825 - 1930 ), Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro.

Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Misbach atau kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kertosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah. Dalam pertempuan melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu Pangeran Diponegoro memberi nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan Tumenggung SETJONEGORO.

Selanjutnya Tumenggung SETJONEGORO diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar TUMENGGUNG SETJONEGORO. Eksistensi kekuasaan SETJONEGORO di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa SETJONEGORO adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini.

Dari hasil seminar Hari Jadi Wonosobo tanggal 28 April 1994, yang dihadiri oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, Sesepuh dan Pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi serta Instansi Pemerintah Wonosobo yang telah menyepakati bahwa Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825.
(Sumber : www.wonosobokab.go.id)
Read More..

SEJARAH KOTA MAGELANG

Posted by Hendi Prakoso 0 komentar
Hari Jadi Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang; bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta.
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja  Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.
(Sumber : www.magelangkota.go.id)
Read More..

BOROBUDUR

Posted by Hendi Prakoso 0 komentar
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.

(Sumber : wikipedia)
Read More..

PERSITEMA DITAHAN IMBANG PSCS CILACAP 1-1

Posted by Hendi Prakoso Kamis, 04 April 2013 0 komentar
Tim tuan rumah Persitema Temanggung bermain imbang 1-1 saat menjamu tim tamu PSCS Cilacap pada pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia, di Stadion Bhumi Phala Temanggung, Minggu.
Persitema yang tidak menurunkan dua pemain asingnya, Ntolo Arsene Aime dan Essomba Serge Marius pada menit-menit awal pertandingan tampak agresif menggempur gawang PSCS.
Permainan dengan tempo cepat membuat Taryono dan kawan-kawan cukup kewalahan. Serangan dari berbagai lini yang coba dibangun Persitema cukup membuat barisan pertahanan PSCS kedodoran.
Pada menit 15, intensitas serangan yang dibangun Deni Nurdiansyah dan kawan-kawan makin meningkat, peningkatan serangan berhasil membuat tim tuan rumah unggul melalui tendangan Elli Nasoka dari sisi kiri gawang Ega Rizky.
Unggul pada awal pertandingan membuat Persitema makin percaya diri untuk terus menyerang. Namun, di tengah intensitas serangan yang tinggi itu, PSCS Cilacap berhasil mendapatkan celah kosong di barisan pertahanan Persitema. Pada menit 19, Taryono, kapten PSCS berhasil menyamakan kedudukan 1-1.
Memasuki babak kedua Kurnanda Fajar Sakti Aji, striker Persitema harus diganti Sumariyanto karena cedera kaki kanan.
Masuknya tenaga baru tersebut, cukup membuat laju serang Persitema semakin kuat. Diserang bertubi-tubi oleh pemain Persitema, anak asuh Gatot Barnowo hanya mampu berkonsentrasi untuk bertahan dan memanfaatkan serangan balik dari bola-bola mati.
Banyak kesempatan untuk menambah poin untuk Persitema, namun penyelesaian oleh pemain depan tidak sempurna sehingga mampu ditepis Ega Rizky.
Serangan balik yang dibangun tim PSCS membuat Roma Surya cukup kewalahan. Hingga babak kedua berakhir, skor masih bertahan imbang.
Manajer Persitema Temanggung Yuniarto mengatakan secara umum permainan Persitema sudah menunjukkan performa optimal. Menghadapi tim di puncak klasmen dengan hasil imbang merupakan bagian dari kepuasan.
“Tentu kami belum puas sekali, karena main di kandang, seharusnya kami menang. Tetapi lawan PSCS dengan hasil imbang kami puas,” katanya.
Menyinggung tidak diturunkannya dua pemain asing, yakni Ntolo Arsene Aime dan Essomba Serge Marius, dia mengatakan, kedua pemain itu sedang ada urusan dengan agensinya.
Pelatih PSCS Cilacap Gatot Barnowo memuji permainan Persitema. Menurut dia, pada pertandingan kali ini, Persitema benar-benar sulit untuk ditaklukkan. Dia mengaku cukup puas dengan hasil imbang tersebut.

(Sumber : bolaindo.com)
Read More..

SINDORO SUMBING

Posted by Hendi Prakoso 0 komentar

Ini gambar Gunung Sindoro dan Sumbing. Sangat bagus dilihat dari Jumo.

Read More..

Total Tayangan Halaman

ViralGen Referral Shopping